Melihat antusiasnya masyarakat dunia yang merayakan tahun baru masehi 2015 termasuk diantaranya adalah kaum muslimin maka sangat perlu diketahui dan dipahami bagaiamana pandangan islam terhadap perayaan tahun baru masehi ini.
Fatwa Mufti Saudi Arabia sahamatus syaikh Abdul Aziz Alu Asy-Syaikh –Hafizhahullah-
Pertanyaan :
Bolehkah memberi ucapan Selamat atau membuat perayaan tahun Baru?
Jawab:
Mengadakan perayaan tahun baru hijriyah atau merayakan peristiwa hijrah adalah perkara yang sama sekali tidak pernah dilakukan oleh sabiqunal awwalun (generasi yang pertama –sahabat,tabi’in,tabi’ut tabi’in-) yang berhijrah dan mengerti betul peristiwa tersebut serta perkembangannya. Mereka tidak melakukan hal yang demikian sama sekali. Karena dengan peristiwa ini menguatlah keimanan di dalam hati-hati mereka.Inilah pengaruhnya kepada mereka.
Adapun mengadakan perayaan,khutbah, muhasabah, ini semua tidak pernah ada. Apabila Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali serta Imam mereka penghulu Manusia yang pertama dan terakhir tidak pernah membuat untuk peristiwa tersebut sebuah perayaan dan tidak pula khutbah tertentu, hal ini menegaskan kepada kita bahwa perkara itu semua adalah muhdats (ajaran Baru/Bid’ah). Dan yang Utama bagi kita adalah tidak mengadakan hal-hal yang demikian, melainkan apabila kita mengingat peristiwa tersebut kita bersyukur kepada Allah atas segala nikmat-Nya dan menguatlah keinginan kita dalam kebaikan dan bersyukur kepada-Nya atas kemenangan agama-Nya.ini yang diinginkan. Kita memohon kepada Allah subahanahu wa ta’ala agar kita dapat mengikuti Nabi kita Shalallahu ‘alaihi wasallam dan berpedoman kepadanya dalam ucapan dan amalannya agar kita bisa mewujudkan kecintaan yang sebenarnya,
Bolehkah memberi ucapan Selamat atau membuat perayaan tahun Baru?
Jawab:
Mengadakan perayaan tahun baru hijriyah atau merayakan peristiwa hijrah adalah perkara yang sama sekali tidak pernah dilakukan oleh sabiqunal awwalun (generasi yang pertama –sahabat,tabi’in,tabi’ut tabi’in-) yang berhijrah dan mengerti betul peristiwa tersebut serta perkembangannya. Mereka tidak melakukan hal yang demikian sama sekali. Karena dengan peristiwa ini menguatlah keimanan di dalam hati-hati mereka.Inilah pengaruhnya kepada mereka.
Adapun mengadakan perayaan,khutbah, muhasabah, ini semua tidak pernah ada. Apabila Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali serta Imam mereka penghulu Manusia yang pertama dan terakhir tidak pernah membuat untuk peristiwa tersebut sebuah perayaan dan tidak pula khutbah tertentu, hal ini menegaskan kepada kita bahwa perkara itu semua adalah muhdats (ajaran Baru/Bid’ah). Dan yang Utama bagi kita adalah tidak mengadakan hal-hal yang demikian, melainkan apabila kita mengingat peristiwa tersebut kita bersyukur kepada Allah atas segala nikmat-Nya dan menguatlah keinginan kita dalam kebaikan dan bersyukur kepada-Nya atas kemenangan agama-Nya.ini yang diinginkan. Kita memohon kepada Allah subahanahu wa ta’ala agar kita dapat mengikuti Nabi kita Shalallahu ‘alaihi wasallam dan berpedoman kepadanya dalam ucapan dan amalannya agar kita bisa mewujudkan kecintaan yang sebenarnya,
قل إن كنتم تحبون الله فاتبعوني يعببكم الله
“Katakanlah , “jika kamu (benar-benar)
mencintai Allah, ikutilah aku,niscaya Allah mengasihi dan mengampuni
dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”(Qs. Ali
Imran:31)
Nuurrun ‘ala Ad-Darb (2/1/1427H)
2. Hukum Merayakan Tahun Baru Islam
Oleh Al ‘Allamah Asy-Syaikh Utsaimin Rahimahullah
Telah menjadi kebiasaan di tengah-tengah
kaum muslimin memperingati Tahun Baru Islam. Sehingga tanggal 1
Muharram termasuk salah satu Hari Besar Islam yang diperingati secara
rutin oleh kaum muslimin.
Bagaimana
hukum memperingati Tahun Baru Islam dan menjadikan 1 Muharram sebagai
Hari Besar Islam? Apakah perbuatan tersebut dibenarkan dalam syari’at
Islam?
Berikut penjelasan Asy-Syaikh
Al-’Allâmah Al-Faqîh Muhammad bin Shâlih Al-’Utsaimîn rahimahullahu
Ta’ala ketika beliau ditanya tentang permasalahan tersebut. Beliau
adalah seorang Ulama Besar ahli fiqih paling terkemuka pada masa ini.
Pertanyaan :
Telah banyak tersebar di berbagai negara
Islam perayaan hari pertama bulan Muharram pada setiap tahun, karena
itu merupakan hari pertama tahun hijriyyah. Sebagian mereka
menjadikannya sebagai hari libur dari bekerja, sehingga mereka tidak
masuk kerja pada hari itu. Mereka juga saling tukar menukar hadiah dalam
bentuk barang. Ketika mereka ditanya tentang masalah tersebut, mereka
menjawab bahwa masalah perayaan hari-hari besar kembalinya kepada adat
kebiasaan manusia. Tidak mengapa membuat hari-hari besar untuk mereka
dalam rangka bergembira dan saling tukar hadiah. Terutama pada zaman
ini, manusia sibuk dengan berbagai aktivitas pekerjaan mereka dan
terpisah-pisah. Maka ini termasuk bid’ah hasanah. Demikian alasan
mereka.
Bagaimana pendapat engkau, semoga Allah
memberikan taufiq kepada engkau. Kami memohon kepada Allah agar
menjadikan ini termasuk dalam timbangan amal kebaikan engkau.
Asy-Syaikh Muhammad bin Shâlih Al-’Utsaimîn rahimahullahu Ta’ala menjawab :
تخصيص
الأيام، أو الشهور، أو السنوات بعيد مرجعه إلى الشرع وليس إلى العادة،
ولهذا لما قدم النبي صلى الله عليه وعلى آله وسلم المدينة ولهم يومان
يلعبون فيهما
فقال:
«ما هذان اليومان»؟ قالوا: كنا نلعب فيهما في الجاهلية، فقال رسول الله
صلى الله عليه وعلى آله وسلم: «إن الله قد أبدلكم بهما خيراً منهما: يوم
الأضحى،
ويوم الفطر». ولو أن الأعياد في الإسلام كانت تابعة للعادات لأحدث الناس لكل حدث عيداً ولم يكن للأعياد الشرعية كبير فائدة.
ثم
إنه يخشى أن هؤلاء اتخذوا رأس السنة أو أولها عيداً متابعة للنصارى
ومضاهاة لهم حيث يتخذون عيداً عند رأس السنة الميلادية فيكون في اتخاذ شهر
المحرم عيداً
محذور آخر. كتبه محمد بن صالح العثيمين
24/1/1418 هـ
Jawab :
Pengkhususan hari-hari tertentu, atau
bulan-bulan tertentu, atau tahun-tahun tertentu sebagai hari besar/hari
raya (‘Id) maka kembalinya adalah kepada ketentuan syari’at, bukan
kepada adat.
Oleh karena itu ketika Nabi shalallahu
‘alaihi wa sallam datang datang ke Madinah, dalam keadaan penduduk
Madinah memiliki dua hari besar yang mereka bergembira ria padanya, maka
beliau bertanya : “Apakah dua hari ini?” maka mereka menjawab : “(Hari
besar) yang kami biasa bergembira padanya pada masa jahiliyyah.
Maka Rasulullâh shalallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda : “Sesungguhnya Allah telah menggantikan dua hari
tersebut dengan hari raya yang lebih baik, yaitu ‘Idul Adh-ha dan ‘Idul
Fitri.“
Kalau seandainya hari-hari besar dalam
Islam itu mengikuti adat kebiasaan, maka manusia akan seenaknya
menjadikan setiap kejadian penting sebagai hari raya/hari besar, dan
hari raya syar’i tidak akan ada gunanya.
Kemudian apabila mereka menjadikan
penghujung tahun atau awal tahun (hijriyyah) sebagai hari raya maka
dikhawatirkan mereka mengikuti kebiasaan Nashara dan menyerupai mereka.
Karena mereka menjadikan penghujung tahun miladi/masehi sebagai hari
raya. Maka menjadikan bulan Muharram sebagai hari besar/hari raya
terdapat bahaya lain.
Allah berfirman :
أَتَسْتَبْدِلُونَ الَّذِي هُوَ أَدْنَى بِالَّذِي هُوَ خَيْرٌ“
Maukah kamu mengambil yang rendah sebagai pengganti yang lebih baik?” (QS. Al-Baqarah : 61)
Ditulis oleh : Muhammad bin Shâlih Al-’Utsaimîn pada 24 – 1 – 1418 H
[dinukil dari Majmû Fatâwâ wa Rasâ`il Ibni ‘Utsaimîn pertanyaan no. 8131]
Para pembaca sekalian
Dari penjelasan di atas, jelaslah bahwa
memperingati Tahun Baru Islam dan menjadikan 1 Muharram sebagai Hari
Besar Islam tidak boleh, karena:
- Perbuatan tersebut tidak ada dasarnya dalam Islam. Karena syari’at Islam menetapkan bahwa Hari Besar Islam hanya ada dua, yaitu ‘Idul Adh-ha dan ‘Idul Fitri.
- Perbuatan tersebut mengikuti dan menyerupai adat kebiasaan orang-orang kafir Nashara, di mana mereka biasa memperingati Tahun Baru Masehi dan menjadikannya sebagai Hari Besar agama mereka.
Oleh karena itu, wajib atas kaum muslimin agar meninggalkan kebiasaan memperingati Tahun Baru Islam.
Sangat disesalkan, ada sebagian kaum
muslimin berupaya menghindar dari peringatan Tahun Baru Masehi, namun
mereka terjerumus pada kemungkaran lain yaitu memperingati Tahun Baru
Islam. Lebih disesalkan lagi, ada yang terjatuh kepada dua kemungkaran
sekaligus, yaitu peringatan Tahun Baru Masehi sekaligus peringatan Tahun
Baru Islam.
Wallâhu a’lam bish shawâb
3. Hukum Memberi Ucapan “Selamat Tahun Baru Hijriyah”
Oleh: Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah
Berikut fatwa berkaitan akan masuknya bulan Muharram:
سئل الشيخ محمد بن صالح العثيمين رحمه الله ما حكم التهنئة بالسنة الهجرية وماذا يرد على المهنئ ؟
فأجاب رحمه الله :
إن
هنّأك احد فَرُدَّ عليه ولا تبتديء أحداً بذلك هذا هو الصواب في هذه
المسألة لو قال لك إنسان مثلاً نهنئك بهذا العام الجديد قل : هنئك الله
بخير وجعله عام خير وبركه ،
لكن
لا تبتدئ الناس أنت لأنني لا أعلم أنه جاء عن السلف أنهم كانوا يهنئون
بالعام الجديد بل اعلموا أن السلف لم يتخذوا المحرم أول العام الجديد
إلا في خلافة عمر بن الخطاب رضي الله عنه. انتهى المصدر إجابة السؤال رقم 835 من اسطوانة موسوعة اللقاء الشهري والباب المفتوح
الإصدار الأول اللقاء الشهري لفضيلته من إصدارات مكتب الدعوة و الإرشاد بعنيزة
Syaikh Al-Allamah Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah ditanya: Apa hukum mengucapkan selamat tahun baru islam. Bagaimana menjawab ucapan selamat tersebut.
Syaikh menjawab:
Jika seseorang mengucapkan selamat,maka
jawablah, akan tetapi jangan kita yang memulai. Inilah pandangan yang
benar tentang hal ini. Jadi jika seseorang berkata pada anda misalnya:
”Selamat tahun baru!, anda bisa menjawab “Semoga Allah jadikan kebaikan
dan keberkahan ditahun ini kepada anda”
Tapi jangan anda yang mulai, karena saya
tidak tahu adanya atsar salaf yang saling mengucapkan selamat hari
raya. Bahkan Salafus Shalih tidaklah menganggap 1 muharram sebagai awal
tahun baru sampai zaman Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu.
Ini sama juga untuk ucapan-ucapan yang biasa beredar semisal “Kullu ‘aamin wa antum bi khoirin”.
Juga mengenai Hari Raya Lebaran, boleh mengucapkan “Mohon maaf lahir batin” dan yang semisal selama tidak mengandung dosa.
Abu Umair As-Sundawy